Senin, 25 Juli 2011

Belajar Dewasa Lewat Sastra

Khairil Habhibie Dwi Putra, itu aku, punya watak yang lugas, ceria, bocor halus, to the point, blak-blakan, dan agak tak santun. Mungkin udah kalian lebih dulu bisa nilai watakku kalau aku itu sakit setengah jiwa dari sejumlah tulisanku, dan sejarah-sejarah hidup yang bisa aku pasti’in gak penting-penting amat bagi kalian. Aku udah nyadar. Dari situlah kadang-kadang yang membuat aku berfikir untuk seenggaknya nyoba’ buat belajar lebih dewasa. “Aku harus dewasa!” Karena aku gak paham cara mendewasakan diri lewat jualan es dawet, dan karena entah kenapa aku selalu suka’ ama seni, termasuk sastra, maka aku mutusin mulai belajar dewasa lewat sastra. Ya walaupun aku sama sekali gak paham sastra. Jadi, mohon. Aku mohon kawan. Jangan ledek aku untuk melakukan hal yang baik dalam hidupku. Aku mohon dukung aku sekeras mungkin. Sekeras taik mu saat kalian tak berhasil buang hajat selama tiga minggu. Karena aku ingin belajar menulis yang lebih dewasa lewat sebuah cerita.

            Dan, dewasa itu akan aku coba lewat kisah yang nyata ini.
@@@

            Aku tengah menatap teguh dan lurus sejurus kearah wajah Kedol. Sangat lurus. Selurus garis . Manusia menyenangkan itu adalah tipe orang yang ceria. Sangat jarang kudapati di bias wajahnya tergurat curahan yang menggambarkan keadaan hatinya yang sedang galau. Tapi aku yakin seperti aku yakin dengan adanya Tuhan, bahwa setiap manusia termasuk Kedol pasti pernah jua merasakan sedih didalam daging merah yang terletak di dada manusia yang sering kita sebut hati. Walaupun selalu luput oleh pandanganku, tapi aku mengimani hal itu. Bukankah manusia di ciptakan Allah sedemikian rupa dengan bermacam-macam racikan perasaan termasuk “sedih”..?? Itu lah salah satu alasan kuat Allah mengangkat manusia sebagai makhluk paling mulia saat Malaikat protes kepada –Nya.

            Dan kini aku terdampar di tepi jalanan raya ini. Jalanan yang biasanya selalu bisa merekahkan senyum bahagia dari bibir kelamku. Bagiku jalanan ini seperti panggung konser yang selalu bisa membuat anak band tersenyum bahagia. Seperti podium yang selalu menggembirakan saat seorang Pegawai honor pemerintahan yang telah berjamur, berkapang, hingga termakan usianya dan tak tentu arah nasib ekonominya  dilantik menjadi PNS rendahan yang telah gaek. Sebuah pengangkatan hadiah karena pengabdian bertahun-tahun si PNS gaek. Jalan raya ini sejurus dengan arah Kedol bermukim. Tiap kali aku melintasi jalanan ini untuk sekedar melarikan suntuk, aku selalu mengimani, akan banyak tawa yang kudapati saat aku sampai di rumah Kedol nanti. Tapi kali ini jalan ini agaknya tak bersahabat. Bibirku yang biasanya kelam saat melintasi jalan raya ini, kini kelu dan pucat hampir tak berwarna. Jalanan ini, kini, bukanlah mengantarakan aku ke arah kekediaman Kedol, melainkan ia bersama nasib telah bersekongkol untuk menjauhkan aku pada kebahagiaan yang berfoya-foya telah aku lakukan selama setahun belakangan kepada tanggung jawabku terhadap masa depan yang tak pernah aku bayangkan akan terasa sesakit ini.

            Bertahun-tahun telah aku teliti, tapi baru kali ini aku lihat raut wajah Kedol tak teguh. Wajahnya layu bersama Bus yang seakan mengisyaratkan bahwa sang adikuasa raja waktu yang tegas dan tak kenal sogokan, sebentar lagi akan meraup temanmu (aku) dari cengkramanmu. Seperti rasa asin yang lugas, cerewet, tajam, nyinyir. Seperti itulah sikap yang biasanya di tunjukkan Kedol ke hadapanku. Tapi untuk malam ini, perangainya bagaikan rasa manis yang dicampur dengan rasa asam dengan kadar asam yang lebih tinggi. Kalem, rapuh, doyong, seperti seorang putri pesakitan, dia tampak cedera di ulu hati. Suatu pemandangan yang sangat jarang terlihat.

            Sebentar aku pindah chanel view kearah wajah Ayu. Ayu yang biasanya seperti rasa manis yang teduh, penyayang, bersahabat, lembut, syahdu, rapuh, dan rentan. Tapi kini iya tetap seperti itu. Hanya saja terlihat lebih tegar daripada Kedol. Rupanya Kedol dibalik wajahnya yang teguh seperti kebanyakan orang Batak lainnya, punya sisi yang jauh lebih melow di banding seorang wanita. Sedangkan Rhena masih tawar. Cuek, apa adanya, periang, dan menganggap perpisahan ini bukanlah hal yang patut untuk di sedihkan berlarut-larut. Sekilas aku lirik kearah Bagong, dia juga tetap seperti itu. Pedas. Pemarah, tegar, tegas, tajam, tegap, kukuh, kejam, dan tak sensitif. Untuk Gepeng, aku tak bisa menggambarkan wajahnya. Satu hal yang aku tau dengan pasti dan tak terbantahkan. Bentuk struktur tengkoraknya tetap seperti itu. Gepeng.

            Dari sahabat, kini aku layangkan pandangan ke arah keluargaku. Dari keseluruhannya, ayahlah yang paling terlihat nyata kesedihannya mengalahkan mamak, dan kakakku. Ayah ku sebenarnya adalah orang yang keras dan tegas. Dia lahir dan di besarkan dari lingkungan hidupnya yang keras. Fikiranku jadi kembali pada masa lalu saat aku kecil. Saat itu aku tengah berada di dalam mobil yang santai melintas di jalanan kota Medan bersama ayah. Sungguh suatu ketiba-tibaan yang tak terbayangkan,
“BRUUKKK..!!”
Mobil kami menabrak pantat sebuah mobil angkot yang berhenti mendadak. Angkot itu baru saja memotong mobil kami seenaknya, dan kemudian secara tak bermoral sekenanya menepi tepat di depan mobil kami dengan menge-rem angkotnya sekuatnya persis di dalam sebuah film action saat polisi menghenti paksa seorang buron yang melarikan diri dengan mobilnya. Walau aku masih sangat bocah, tapi aku telah bisa berfikir dan paham benar gelagat supir angkot tesebut. Dia melakukan manufer yang membahayakan nyawa aku, ayah, penumpangnya, bahkan nyawanya sendiri hanya demi menurunkan penumpang yang meminta untuk menepi.

            Si sopir keluar dari angkotnya dengan menyertai emosi yang tak terbendung. Aku ketakutan. Seakan darah ku yang tadinya normal di pompa jantung menuju otak, kini semua darah yang berada di otak, jatuh dengan deras dengan kecepatan yang amat tinggi ke mata kaki berkubik-kubik lalu mengkristal dan memeberat bagaikan piksel-piksel yang tersusun rapih seperti matriks. Dia turun dan membanting pintu angkotnya yang reot, sambil memaki sumpah serapah yang komplit dengan faseh. Dari dialeknya bicara_lebih tepatnya memaki_aku dapat memastikan bahwa dia adalah manusia bersuku batak yang wataknya keras. Jelas terlihat bahwa umurnya jauh terpaut dibawah usia ayah yang sudah mulai renta. Ayah hanya duduk diam tak bergerak di dalam mobil membiarkan dengan sengaja  supir angkot batak itu memaki-makinya. Aku sebenarnya sangat tak ikhlas ayahku di perlakukan seperti binatang. Tapi saat itu aku sangat ketakutan. Aku hanya seorang bocah yang belum mengecam pendidikan apapun. Masih sangat rentan. Bahkan belum pantas mendengar kata-kata kotor yang keluar dari mulut kotornya itu. Apalah yang bisa dilakukan seorang bocah yang belum pandai membaca walau satu huruf latin maupun kanji?

            Ayah tetap diam tak berkata. Abang-abang batak supir angkot semakin menjadi-jadi memaki ayah. Sekarang disertai dengan memukul-mukul mobil kami. Orang-orang terpana bagaikan menonton sebuah pertunjukan komedi. Inilah moral manusia. Agaknya ayah terlihat sudah mulai tesinggung. Dengan lugas, ayah membuka pintu mobil dan segera merangsek keluar. Darahku semakin mengalir dengan sangat cepat. Jantungku beretak tak lagi normal.
“PAAKK...PUUKKK...BUUUMM...POOOWW..”
Tak dapat disangka ayah langsung memukul abang-abang batak supir angkot tanpa ampun. Bertubi-tubi tanpa memberikan celah sedikit pun. Si sopir angkot,  kakinya jadi tak tegar sampai tersungkur, terkulai, dan tak bergerak di atas aspal yang panas di bakar matahari yang panasnya nyaris mencapai titik didih air. Abang-abang batak supir angkot KO detik itu juga. Diatas panasnya aspal, dia bergelinjang menahat perih dan malu. Masih terekam jelas di dalam otak ini walau sudah bertahun-tahun berlalu kata-kata yang keluar dari mulut Ayah.
“AKU JAUH LEBIH TUA DARI KAU. JANGAN KAU BUAT AKU SEPERTI ANAK-ANAK!”

            Aku tesenyum. Darah dan jangtungku kini telah kembali bekerja normal sebagaimana mestinya. Darah yang tadinya mengkristal, kini telah menguap kembali. Ayahku hebat. Hebat seperti Ksatria Bajahitam yang ku tonton setiap sore di televisi. Kata-kata Ayah tadi akan ku ingat sampai kapanpun. Dewasa ini kiranya aku menangkap satu buah manis pesan moral yang terselip tegas dari kata-kata Ayah. Bahwa yang muda hendaknya dan wajib menghormati yang lebih tua.

            Atau pada saat aku SMA, Ayah ku yang telah berusia setengah abad, rela bergumul dengan laki-laki tukang minyak ecer kurang ajar yang juga merupakan tetanggaku dalam sebuah perkelahian hanya karna tak sudi anaknya (adikku) dimaki olehnya tanpa dosa apa-apa. Mungkin karna Ayah lahir dari lingkungan yang keras, memaksa dia untuk terdidik menjadi lelaki yang mahir berkelahi. Saat itu, Ayahku menyodorkan beberapa bogem mentah kombinasi jap, huk, stright, dan uppercut secara teratur dan tak terduga ke arah wajahnya dan memaksa dia tersudut. Aku melihat dengan jelas semburat merah darah berhamburan dari mulutnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Ayah menang dengan nilai mutlak. Padahal umur mereka terpaut sekitar 13 tahun. Dia beruntung tak KO saat itu. Karena orang-orang (termasuk aku) telah berhambur melerai. Sungguh besar rasa sayangnya kepada buah hatinya.

            Tapi kini, orang tua itu tampak jauh tak seperkasa dulu. Beliau tampak jauh lebih down dari mamak yang seorang wanita. Nafasnya tercekat saat aku menaiki bus. Air matanya tergenang tapi tak di biarkan jatuh. Aku tak sanggup meninggalkan orang hebat itu. Aku berhenti sejenak saat di menaiki tangga bus. Sesaat aku menoleh sebentar kearah mereka. Ayah mengangguk-angguk tertatih dengan mata yang memberat penuh air, seakan mengisyaratkan,

“Pergilah nak! Pergilah! Rangkailah masa depanmu seindah mungkin. Aku, orang yang renta ini tak akan pernah luput walau se-helaan nafas untuk mendo’akanmu!”

Aku pun menguatkan diri. Aku kembali menaiki tangga bus dengan merangkaikan sebuah kaliamat di dalam hati. Sebuah kalimat yang paling bijak dan dewasa mungkin selama hidupku yang kosong ini.

“Yah, Mak, dengan do’a kalian yang tiada jeda, dan atas izin Allah, suatu saat aku akan pulang membawa segenggam kebahagiaan untuk kalian, seperti kebahagiaan seluas serambi syurga yang telah kalian limpahkan kepadaku dengan sangat ikhlas dan tiada terhitung jumlahnya walau dengan rumus, persamaan yang paling canggih sekalipun!”

            Bus mulai berjalan lurus dan mulus melewati rumah Kedol tepat ke arah Provinsi Aceh. Universitas Syiah Kuala lah tepatnya tujuanku. Dari sinilah awal aku merangkai masa depan. Masa depan yang InsyaAllah sangat aku harapkan mudah-mudahan akan indah. Amin.

Banda Aceh, 20 Juli 2007, 18 : 45 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar