Sabtu, 28 April 2012

Bubar Volume 1


Everyday like birthday. Setiap hari terasa bahagia. Dan, setelah aku observasi, ada beberapa fakta yang dapat aku simpulkan dari jatuh cinta menurut pengalaman pribadiku sendiri, diantaranya :
  1. Susah untuk ngelepas hape dari tangan
  2. Suka senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Lagi makan senyum, minum senyum, boker senyum, di tagih utang sama tukang kredit ember pun senyum (emanknye emak-emak..!!)
  3. Otot jempol jadi berotot (karena kebanyakan sms)
  4. Kuping jadi selebar kuping gajah (karena kebanyakan nelpon)
  5. Otak jadi suka mikir mesum sendiri (sampek nyipok-nyipok guling sendiri diatas kasur tengah-tengah malem)
Sedangkan untuk dampak buruknya juga gak kalah parah. Biasanya syndrome pacaran ini dapat menyebabkan penyakit Kanker (kanker = kantong kering efek samping dari pulsa, jajan, makan, jalan, dll). Tak hanya itu, parahnya lagi, syndrome yang mematikan ini menyebabkan kanker di beberapa bagian tubuh. Kanker yang ditimbulkan antara lain:
  1. Thumbs Cancer           : thumbs cancer atau dalam bahasa yang lebih manusiawinya dapat kita sebut “Kanker Jempol” disebabkan dari infeksi dari button (tombol hape) dan thumbs (jempol) yang selalu bergesek secara kontinyu dan berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama. Biasanya penyebabnya adalah kebanyakan sms
  2. Ears Cancer                 : dalam bahasa yang lebih kampungannya dapat kita sebut dengan “Kanker Kuping” adalah efek samping dari “Radiation of Telecomunication Signal”. Biasanya penyebab dari syndrome ini adalah kebanyakan, kelamaan, kehujanan, kehamilan, dan ketauan nelpon yang skala waktunya tidak wajar.

Mungkin ini yang orang tua dulu bilang di mabuk asmara. Gak ngerti deh. Rasanya asyik aja. Sejak aku dapet gebetan baru, hari-hari rasanya indah aja. Pagi masih bobo’, siang makan+nonton gosip, sore pacaran, maghrib makan lagi, malam pacaran lagi, tengah malam nge-bokep. Besoknya, pagi masih bobo’, siang makan+nonton gosip, sore pacaran, maghrib makan lagi, malam pacaran lagi, tengah malam ngebokep. Besoknya lagi, pagi masih bobo’, siang makan+nonton gosip, sore pacaran, maghrib makan lagi, malam pacaran lagi, tengah malam ngebokep. Terakhir aku ilangin ngebokep dari jadwal kegiatan sehari-hari.

            Hampir setiap hari kita ketemu. Ada aja alesan buat ketemuan. Dari suntuklah, kangenlah, temenin kesini lah, gak sengaja lewat trus singgah lah, numpang boker lah, lagi pengen lah, dan lain-lain. Apapun alesanya, yang jelas, kita happy. Maklum lah, penganten baru. Maksudku, pasangan baru. Lagian, mau ngapain lagi. Hidup udah berubah. Sekolah udah tamat, sebagian temen terdekat juga udah pada pergi. Satu-satunya hal yang bisa ngobatin sepi cuma si do’i.
©J©

            Dibalik semua kebahagiaanku saat ini sebenarnya ada sebuah kesedihan tak alang kepalang  yang secara pasti aku sadar tak lama lagi akan menghampiriku. Ini adalah akhir  dari masa indah SMA. Dan hal indah itu tak lama lagi akan berakhir. Aku dan semua kenangan, segelintir teman, akan berakhir di pertengahan tahun ini. Lebih sialnya lagi, kenapa aku harus punya teman terdekat yang sebagian besar bernotabene anak luar SUMUT. Perpisahan pun dalam waktu dekat tak akan bisa ku hindari. Perpisahan yang nyata.

            Hari-hari ku jadi tak banyak warna. Hanya ada warna hitam kelam dan putih bersih. Detik-detik kebersamaan do’i diwakili oleh warna putih yang sendu bahagia. Tapi setelah sesaat itu, aku harus menerima kelamnya kehilangan sahabat. Kerbersamaan pun terasa jadi lebih basi dari biasanya. Intensitasnya pun menjadi turun tajam. Pertemuan basi dengan intensitas rendah. Sebelum Ijazah dipulangkan pada tiap siswa, Aris udah lebih dulu pamit untuk pulang ke habitatnya di pangkuan orang tua di Kota Lhokseumawe Aceh. Dua minggu setelahnya, Pian pun menyusul berangkat ke Pekan Baru Riau dengan janji serupa dengan Aris, “Kami akan pulang lagi saat ambil Ijazah. Kita akan pesta kawan!” Aku bukan anak-anak yang bisa langsung ketawa cekikikan cengengesan setelah dengar kalimat yang hanya menegarkanku sekenanya. Dengan kedua kamar kos mereka yang telah kosong, bagaimana aku bisa tenang dengan kalimat yang jelek begitu. Bagaimanapun indahnya kau merangkai sajak kawan, perpisahan ini akan tetap terjadi.
LLL

            Sekitar dua bulan lamanya, pembagian Ijazah akhirnya tiba. Mereka pulang. Kami kayang. Eh, party. Tapi hanya sekejap saja. Aris yang tengah sibuk bergelut dengan kesibukan dia mengurus semua kebutuhan dan persyaratan untuk menjadi seorang anggota Bintara POLRI, berupa bawang merah kembar siam, bambu kuning ruas tunggal, ayam hitam, dan kulkas dua pintu, akhirnya hanya mampir beberapa hari saja. Hari terakhir di Binjai, dia nyempatkan diri singgah ke rumahku buat pamitan ama ortu ku. Aris yang matanya ceper, pipi jatoh sampe ketanah, perut buncit sampai menutupi kemaluan, punggung bungkuk bengkok dan absurd bagi semua manusia di jagat raya, serta mulut bau pinggiran kuku jempol kaki, nyamperin emak yang lagi sibuk masak sartika (sambel teri kacang).
“Bu, Aris pamit ya!” Aris pamit dengan muka blo’on yang khas bawaan lahir.
“Balik hari ini Ris?” bales emak pura-pura kaget.
“Iya bu, masih banyak urusan sibuk persiapan untuk tes, gak bisa di tinggal”
“Ha? Aris tes masuk Polisi ya?” Emak nanya’ dengan nanar wajah yang tidak percaya seperti mengatakan “TIDAK MUNGKIN...!!!!! APA JADINYA KALO KEPOLISIAN DI ISI BADUT DONAL BEBEK...????”
“Iya Bu. Tolong sampe’in salam Aris sama Om ya Bu! Oya, sekalian bu, do’anya!”
“Oh, iya Ris. Sukses ya!” Jawab emak simpel yang raut wajahnya kini telah berubah seperti mengisyaratkan baru selesai mengucapkan 1000 kali istighfar.

Aku dan kawan-kawan nganterin si badut Donal Bebek ke terminal, sampek busnya berangkat. Kami berpisah dengan suasana haru. Entah kapan lagi aku bisa maen ama badut Donal bebek lagi. Ya, walaupun blo’on, dia begitu banyak berjasa spiritual pada emak. Paling tidak, setiap dia datang kerumah, dapat dipastikan emak ngucapin tahlil, tahmid, tahtim, dan istighfar masing-masing 1000 kali.

Seminggu setelah kepergian Aris, kinilah tiba waktunya Pian yang mengikuti jejak Aris. Dia juga akan pulang. Sama seperti Aris, sebelum berangkat, Pian juga tak lupa pamit sama ortu ku. Sama-sama pamit, tapi kejadiannya sedikit berbeda. Kalo Aris pamit pas nyokap lagi masak Sartika, tapi kali ini tidak. Pian yang kulitnya kayak tumpukan daki setebal 5 cm (aku pernah ber-eksperimen nanam biji cabe rawit di daki kulit Pian. AJAIB, TUMBUH..!!!), bulu idung yang offside (maksudnya bulu idungnya kepanjangan sampek keluar-keluar), dan kete’ yang baunya kayak koreng yang udah 10 tahun gak sembuh sampe’ di lalerin laler ijo, nyamperin emak yang lagi masak Riste Tagor (Teri sambel pete, Tahu goreng).

“Bu, Pian sore ini mau balik. Pian pamit ya! Maapin Pian ya Bu, kalo selama ini ada salah ato sering ngerepotin!” Pian pamit dengan muka’ penjilatnya yang juga bawaan dari lahir.
“Loh, Pian mau balik juga?” tanya emak gak kaget.
“Iya bu, pengennya si, lama’an disini. Tapi mama udah desak nyuru Pian pulang!”
“Ajaklah si Bhibie jalan-jalan kesana! Dari pada dia disini kerjaannya maen aja!” sambung emak ketus sambil ngelirik tajam ke arahku dengan rona wajah nyindir.
“Oooo, ya boleh bu. Malah Pian seneng. Disana Pian juga gak ada kawan dirumah. Kalo bibinya mau bu!” Pian ngomong sambil nengok ke arahku.
“Macemana bi? Ada minat kesana?” emak balik nanya ke aku. Aku celinguk ke dua wajah, wajah emak dan Pian sebentar karena kaget gak nyangka.
”ya, kalo judulnya jalan-jalan, Bhibie mana mungkin nolak mak. Asal ada dana, Bhibi sih OK selalu mak!”
“yaudah, telpon ayah sana! Bilang minta duit buat ongkos maen ke tempat Pian di Pekan Baru. Kalo ayah ngasi, berangkatlah.”
Aku bengong selama 2-3 menit. Kenapa endingnya bisa kayak gini? Tapi ngapain juga dipikirin? Namanya juga jalan-jalan, siapa si yang nolak?

            Akhirnya sore itu juga aku berangkat berdua dengan Pian. Kami berangkat dengan dianter Kedol dan Gepeng sampai di terminal. Sebelum ke terminal, aku sempatkan buat pamit ama do’i dan mampir kerumahnya sebentar. Do’i sempet kaget dan ngomel dikit pas dengar keberangkatan aku yang serba mendadak. Tapi untung aja, setelah aku dan di bantu oleh kedol menjelaskan kronologis keberangkatan aku yang mendadak, akhirnya do’i mau ngerti. Aku jadi bisa berangkat dengan lebih tenang. Setelah pamit, aku dan kedol langsung menuju ke terminal bus. Gepeng dan Pian udah nungging, ehh nunggu disana. Semua udah beres. Tiket, koper, beras, obat panu, dan es dawet komplit dengan gerobak dan abang-abang penjualnya udah rapi tersusun didalam bagasi bus. Sebentar lagi aku dan Pian akan berangkat. Aku pandang ke arah Gepeng dan Kedol, tampak wajah mereka yang pasi dan mellow. Ada rona duka tergurat disana. Terlebih Gepeng. Matanya sampai terlihat berkaca-kaca. Tadinya mereka yang juga sempat aku ajak. Tapi karena judul hari ini adalah “Mendadak Dangdut” ehhh, “Mendadak Cabut” jadi mereka enggak bisa ikut berangkat karena terkendala oleh dana dan sederetan alasan lainnya. Ya, memang ini sangat spontan. Mereka tak punya persiapan apa-apa.
JJJ
           
Sekitar sebulan lamanya aku berlibur di kediaman Pian. Banyak hal yang terjadi. Dari yang indah, yang konyol, menderita, semuanya bercampur aduk menjadi satu sampai-sampai aku melupakan sesuatu yang sangat penting buat masa depanku. Kuliah. Kuliahku terlupakan oleh ku. Waktu itu aku lagi nginep di rumah tante ku yang juga berada di Pekan Baru. Tante nanyain aku keheranan berat karena aku setiap hari hanya menampilkan raut wajah yang innocent tanpa dosa.
“Bibi gak ikut SPMB?”
“Ikut tan!” aku jawab Innocent.
“Lulus gak?”
“Kan tesnya belom mulai tan!” aku jawab tak berdosa.
“hahahaha...!!” tante cekikikan.
“Kenapa tan? Kok ketawa?” aku nanya kebingungan sambil mikir dalam hati, “wah, kayaknya tanteku kena penyakit bisul di otak ni! Sampe gila gini ketawa-ketawa sendiri!”
“Bibi lucu lah, SPMB kan udah keluar pengumuman dari minggu lalu!”
“Hah??? Yang betol tan! Tante tau darimana?”
“Ya tau lah bi! Tante kan ngeliput berita tentang SPMB! Jadi tante tau betul perkembangannya.”

Mampusss... Abis lah masa depanku. Obsesiku kuliah di Universitas Negri, terlebih USU punahlah sudah. Aku bengong sebentar, kemudian aku langsung nelpon kakak nanyain tentang penerimaan mahasiswa baru di UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) salah satu Universitas swasta di Medan. Kebetulan kakakku juga kuliah disana tengah berjuang menyelesaikan Skripsinya. Jadi dia pasti tau informasi lengkapnya.
“Halo kak, pendaftaran penerimaan mahasiswa baru UISU kapan dimulai?”
“Besok ujian gelombang ketiga, gelombang terakhir.” Dengan lugasnya kakak jawab. Habis sudah. Aku akan menganggur selama setahun penuh. Kini harapanku cuma pada STAN (Sekolah Tinggi Akutansi Negara) yang sebelumnya telah aku ikuti.

Malam itu aku telpon do’i lepas kangen. Sedikit ngerepet manja, karena dia tak ada mengingatkan ku tentang SPMB. Dia hanya membela diri mentel yang bikin aku makin gemes dan lupa pada marahku. Dan malam itu dimakan waktu dengan syahdunya. Angin malam seakan tidak membawa penyakit yang bisa merusak badan, tetapi membawa cinta si pria calon pengangguran yang saat ini sedang jatuh sangat dalam pada cinta. tak perduli dan tak tau pada angin hari-hari selanjutnya yang perih.

Liburan ini kuteruskan dari Pekan Baru menuju Bukit Tinggi. Kemudian melebar ke Padang. Dan menuver memutar perjalanan pulang, singgah di Penyabungan. Semua titik yang aku singgahi itu adalah kediaman family. Penyabungan adalah destinasi terakhir yang aku rapati. Aku segera pulang karena akan ada pengumuman STAN yang harus aku geluti. Ditengah-tengah itu, aku terlibat ribut kecil dengan si do’i. Entah ada apa jauh disana, do’i kini tak se-onfire dulu perhatiannya. Aku hanya kepede’an, “paling do’i kangen ama aku dan sekit merajuk manja karena aku liburan terlalu lama.” Konflik kecil ini buat aku jadi pengen cepat-cepat pulang. Selain pengumuman STAN, aku juga kangen berat ama do’i.

Aku pulang tanpa ngabarin do’i. Niatnya sih pengen ngasi surprise! Tapi perjalanan pulang tak semulus yang di harapkan. Diperjalanan, tepatnya di daerah Sipirok SUMUT, ada sedikit longsor di jalan yang mendaki. Tanah liat yang tumpah dari tebing menyebabkan jalanan sangat licin. Terlebih, ada sebuah bus di depan yang mencoba menerobos, tapi pada akhirnya tak bisa bergerak di tengah tanjakan. Akhirnya, antrian macet yang panjang pun gak bisa di hindari. Ditengah hutan, tanpa signal, tanpa nasi bungkus, tanpa air mineral, tanpa WC umum, tanpa  rokok, tanpa musik, tanpa novel, tanpa AC, tanpa jalan-jalan sore, tanpa ganti kolor selama 11 jam. Malam sangat mencekam. Siang sangat chaos. Ada bocah 2 tahun yang sreaming meronta-ronta sepanjang siang. Ngeliat tetangga di sit sebelah yang asyik makan mie instant gelas. Aromanya semerbak. Perutku mengeluarkan nada di C = Do. Keetulan mereka melakukan perjalanan bersama keluarga dengan bekal yang lengkap disertain termos air panas yang telah diisi ulang saat di tempat pemberhentian terakhir.

Deretan panjang mobil itu hanya dapat menunggu. Hanya mobil dengan mesin kuat seperti mesin 4WD yang bisa lewat di sela-sela bus yang terjebak di tengah tanjakan. Sisanya, menunggu. Satu-satunya hiburan, adalah ketika menonton mobil-mobil bertenaga kuat itu bertarung melawan jalanan curam yang licin. Di butuhkan keahlian dalam menyetir di medan seperti ini. Bila salah memilih jalan, mobil bisa saja terjebak oleh liatnya tanah yang tak bisa dikalahkan ban. Yang tak punya mobil yang mendukung, hanya bisa berdo’a agar semoga tidak turun hujan lagi agar tanah menjadi kering, dan kami dapat bergerak.

11 jam berlalu, tanah mulai kering, akhirnya kami bisa lewat. Perjalanan di mulai kembali. Tepat menjelang maghrib aku sampai di Medan, langsung menuju rumah. Badan terlalu capek untuk bergerak. Akhirnya setelah menghentikan nyanyian perut, mandi, ganti kancut, aku langsung tepar tak sadarkan diri. Ahhh.. Nyamannya! Besok saja jumpain do’i.

Esoknya, hari tampak berbeda. Tapi terselip rasa senang tak alang kepalang di kepala. Semangat 45 mengawali ku kerumah do’i untuk ngajak jalan. Satu galon parfume aku tuang ke sela kete’ biar wangi. Aku pun jalan dengan penuh birahi dengan pedenya.

Hampir sampai, dari kejauhan, aku lihat ada sosok mobil mengkilap gagah parkir diam di depan rumahnya. Aku pelankan motor. Sedikit mengintip, aku liat do’i duduk santai di teras depan dibawah pohon jambu. Aku langsung masuk. Reaksi pertama, aku berikan dia senyuman terindah. Reaksi kedua, senyum membasi. Reaksi ketiga, wajah mengerut. Ada seorang cowo’ sedang ngobrol dengan do’i dengan mesra dan terasa sangat intim. Suasananya kelihatan sangat hangat. Sedangkan dadaku mendidih. Do’i tak mereson seperti yang kuduga. Seperti tak ada apa-apa.
“Eh bhibie, pulang kok gak ngabarin? Kapan nyampe’? Kenalin nih, temen aku!”
Seperti biasa, senyumnya selalu bisa mendinginkan aku. Tapi, hanya sebentar. Kami bertiga ngobrol seperti layaknya manusia ngobrol. Tapi do’i tak bertindak seperti layaknya sepasang kekasih yang udah lama gak ketemu. Dadaku kembali mendidih.
            Aku kalah! Aku putuskan untuk pamit lebih dahulu. Aku tarik kecil gas motor sederhana ini melintasi mobil mengkilap yang gagah seakan sedang melirik sombong meremehkan aku yang sedang beranjak pulang. Aku pulang dengan pandangan kosong. Semua fikiran beraduk melebur dan bersatu. Aku tak pernah mempermasalahkan bila sebuah hubungan pada akhirnya akan hancur. Bukankah memang seperti itulah hidup. Tapi aku tak pernah membayangkan dengan cara keji seperti ini. Aku terlalu rapuh untuk menampung kondisi yang mengaitkan keluarga. Otak busuk ini menarik wajah motor sedehana ini dan melibatkkannya pada peperangan dengan mobil mengkilap. Lalu otak busuk ini dengan tega juga menarik wajah ayah sederhana yang luar biasa dan secara keji melibatkannya pada mobil mengkilap. Detik itu juga aku berikan titik didalam hati pada hubungan ini!

            Esoknya adalah hari pengumuman STAN. Aku berangkat ke gedung keuangan Medan, berharap agar sekiranya namaku tertera di selebaran yang di tempel tak rapi di papan pengumuman. Ratusan nyawa berkerumun mengintip nama dengan penuh harapan. Orang-orang yang turun dari gunung membawa ketiak basi membanjiri halaman kantor ini. Namaku tak tertera. Aku resmi menganggur! Aku pulang dengan setan yang menduduki kepala. Sepanjang perjalanan, amarah memelukku erat-erat.

            Di rumah, aku langsung rebahan. Me_reka-reka apakah yang akan ku lakuin selama nganggur. Terlalu sampah rasanya jadi pengangguran kalo gak ada guna. Tak butuh waktu lama, mataku mulai mengkerut. Aku hampir tertidur sebelum akhirnya tersentak gara-gara hape ku menjerit. Aku baca, ternyata do’i nelpon. Sebelum aku angkat telpon itu, aku menerka-nerka, pembicaraan apa yang akan terjadi?

            Do’i nanya tentang hasil pengumuman STAN. Ternyata dia masih inget. Obrolan basa-basi akhirnya terjalin dengan hangat. Sebelum pada akhirnya aku mulai merusak suasana ini dengan bertanya tentang orang dengan mobil mengkilap kemarin. Jawaban yang sudah kuduga tapi tak kuharap benar-benar muncul. Titik itu kini benar-benar tegas.

...

Selasa, 24 April 2012

Untung ada Sendal Jepang


“Yan, ini kekmana jadinya?”
            “Tenang..tenang. Pasti ada jalan keluar!” Pian coba tenangin kepanikan Kedol.
                “Anjing lah bi, cari solusi, jangan cuma ketawa aja!” Kedol merepet panik kayak kucing yang kebelet beranak.
            “hahahaha...!!” aku nimpalin dengan ketawa tambah cekikikan.
Aku gak nyesal pergi hari ini. Chaos yang menggelikan ini sangat sayang untuk di lewatkan bila aku tak ikut mereka hari ini. Chaos yang di timbulkan oleh, MUNGKIN, kutukan Buk Syarifah yang bermula di pagi hari tadi.
JJJ


            Bi, aku mau beli hape ni! Temenin aku beli hape yok! Pian sambil nge-lap ingus coba ganggu aku yang lagi konsen ngikutin pelajaran.
            Iya..iya, pas pulang nanti kita ke counter!
            Enggak, maksudku kita pergi sekarang!
            “...???...
Maksud kau? Aku kok jadi Jaka sembung bawa obat panu
Makanya, gak usah kau dengerin kali Buk Syarifah tu. Semua yang dia bilang di depan tu semua cuma dusta tuh! Kedol yang duduk tepat di bangku belakang nyela pembicaraan.
Buk Syarifah yang lagi asyik nerangin vector, dibilangin nipu? Aku mikir sejenak, lelucon itu garing apa gak sih? Vector di bilang sebuah deretan kalimat dusta. Suatu saat vector yang telah berjasa banyak pada kemajuan dunia akan mengutukmu Kedol.
            “Iya, maksudku kita cabut! Kita belanja di PM (Plaza Millenium). Sekalian nongkrong. Aku STB nih!”
            “Apa tuh STB?” aku nanya dengan mupeng (muka pengen).
            “Suntuk Babi.”
Aku jadi teringat Babi ber-sunblock *(ada di dalam cerita pertama di judul ‘PERKENALAN’)*. Sungguh mirip mereka berdua.
            “Cabut sekarang? Kau ni udah gila atau pengen hilang perjaka? Ini mata pelajaran matmatika, kau tau itu artinya apa? Itu artinya Buk Syarifah lagi mengaum. Kalo kita cabut sekarang, jamin besok sangkakala pasti di tiup. Aku gak mau ayah ku mampir lagi kesekolah jumpain wali kelas gara-gara ngikutin kau.”
            “Alakhh, kita laki-laki bi! Lakik harus ngerasain pait dan manisnya dunia. Aris yang idiot aja pengen cabut juga. Lagian sereman mana Bu Syarifah yang ngaum sama Aris yang ngaum?”
Agaknya Pian udah tau persis bagaimana sifat-sifat sensitif aku. Entah kenapa, setiap Pian ngeluarin kata-kata itu aku selalu lemah dan nunduk. Aku gak mau aja di bilangin banci gara-gara cuma gak mau cabut. Di tambah lagi aku jadi ngebandingin antara auman Bu Syarifah ama auman Aris. Yang manakah yang berdampak paling vital. Aku harus mengambil keputusan secara bijak. Semua itu butuh analisa yang kongkrit. Mari kita analisa :

Kalo Bu Syarifah mengaum, efeknya suasana mencekam, ribut, bising, pusing, cewe-cewe merinding, aku baca ayat kursi, Abib tidur di belakang. Korban utama itu tentu kuping. Separah-parahnya, paling berobat ke THT. Kalo Aris yang mengaum, suasana mencekam, semua tutup idung, cewe-cewe tereak, ayam-ayam berkokok, suasana hening. Satu sekolah meninggal karena nahan nafas. Korban utama adalah hidung. Terlalu vital. Hidung adalah alat utama untuk bernafas. Nafas memerlukan Oksigen. Oksigen adalah sumber kehidupan. Kalo Aris mengaum, bisa mencemarkan Oksigen. Aku harus cegah itu. Lagian aku gak mau ayah dan emak nangis-nangis karena anaknya tewas gara-gara terkontaminasi oksigen yang beracun gara-gara nolak cabut. Baiklah, secara bijaksana maka dengan ini aku menyatakan, CABUT!

            “Yaudah gini aja, kita cabut pas abis kelas Buk Syarifah. Cemana?” Aku menyampaikan secara halus keputusan terbijak selama hidup. Sungguh bijaksana sekali keputusanku itu.
            “Oke, kedengerannya oke tu!” kata Pian setuju sambil nge-lap ingus.

            Setelah mata pelajaran Buk Syarifah selesai, aku, Pian, Kedol, dan Aris langusng bergegas keluar sekolah lompat dari belakang WC sekolah. Kebetulan, kebiasaan kami tak pernah meletakkan motor di dalam sekoah. Kami telah terbiasa nitip motor di warung Wak Syam yang terletak di depan sekolah. Hal itu sengaja dilakukan dengan tujuan untuk mengantisisapi, eh, maksudnya mengantisipasi hal-hal yang sifatnya mendadak seperti sekarang ini. “CABUT”.

            Kami melakukan manufer memutar. Dari pagar dibelakang WC sekolah, kami berjalan memutari sekolah kedepan menuju warung Wak Syam. Cuma Pian yang merayap ke warung wak Syam. Motor telah stedy, ready, banci. Hal yang paling utama yang di butuhkan untuk cabut ke Mall, itu adalah helm. Trus di susul jaket sebagai kebutuhan paling sakral kedua. Helm untuk menghindari tilangan pak Polisi, kalo jaket juga menghindari pak Polisi dan abang Sat Pol PP dari razia kasih sayang. Selain itu, jaket juga penting buat izin masuk ke Mall tertentu yang security nya selalu usil kalo ada anak sekolah masuk kedalam Mall dengan make baju seragam sekolah sebelum jam sekolah berakhir. Jadi langkah awal kami menuju kosan Pian buat melengkapi keperluan. Dirumah Pian, kami cuma minjem jaket doang ama Pian. Cuma Kedol yang nambah sama sendal. Katanya gak nyaman make sepatu. Kami pun berangkat dengan tersenyum lebar dan dengan hasrat yang penuh birahi.

            Dari kejauhan udah bisa di lihat jelas “Plaza Millenium”. Bisa dibilang di sini adalah certralnya hape. 70% dari bangunan besar ini, stannya ngejual hape. Cuma 20% stan yang ngejual barang elektronik selain hape. Sedangkan 7,5% adalah tempat makan. Sisanya, yaitu 0.5% jualan sendal jepit. Itu pun di lantai paling dasar, di pintu masuk utama, di emperan serambi Mall.

            Pian jalan paling depan. Kami ngekor di belakang. Di langkah pertama dia masuk Mall, dengan sangat cepat bau badannya melesat cepat semerbak di seluruh ruangan di gedung ber-AC ini. Aris nyusul nguap. Bau mulutnya gak mau kalah bergerak lebih cepat ke seluruh sudut dan penjuru gedung. Acek dan coco chinese penjual hape langsung curiga ama kami ngerasa ada aroma energi “yin” (jahat) masuk ke dalam gedung yang bisa ngeganggu hoki mereka. Aku dan Kedol tentu yang di anggap sebagai energi “Yang” (energi positif). Sungguh perpaduan dua senjata biologis pembunuh masal yang sangat hebat. Aku rasa, bila di satukan, senjata seperti inilah yang di takuti negara adikuasa sebesar negara Amerika. Keren sekali mulut dan kete’ mereka.

Pian mutusin hunting hape dari lante atas. Kami jalan kearah lift, tapi kedol protes. Katanya lebih baik naek tangga escalator. Kedol ngaku kalo dia takut naek lift.
“Ngeri wak, kalo tiba-tiba liftnya mendadak macet pas kita di dalam. Trus kekmana kalo misalnya tiba-tiba gempa? Gak ada orang yang mau nyelamatin. Semua nyelamatin diri sendiri. Kita semua mati konyol di dalam lift, kehabisan oksigen, trus mati gak bisa napas. Kan ngeri!” Kedol merentet sejumlah alibi yang gak masuk akal.
“Keren lah, kita bisa jadi icon baru di dunia hantu. Hantu siswa penghuni lift. Kita pasti bisa ngalahin suster ngesot. Cerita kita di rilis dalam film ama novel. Novel kita Best seller, film kita tembus Box Office. Hantu kita bakal di undang di Oprah, dan di liput di Kick Andy, Ki Joko Bodo jadi pawangnya. Ih, keren kali tu. Ayo kita naek lift aja!” Pian nyambung garing. Dia gak mikir kalo pun kami mati kehabisan napas di dalam lift, itu bukan karna phobia Kedol, tapi karna efek kelamaan nahan nafas, soalnya idungku yang imut ini tak akan sudi nerima aroma kete’nya ama aroma nafas Aris.

            Akhirnya kami naek ke lantai dua dengan escalator. Kedol gak nyadar kalau escalator yang di agung-agungkannya itu sebentar lagi akan jadi malapetaka untuk dia. Boomerang akan matok kepalanya sendiri. Hunting pun di mulai dari lantai ini. Bual sana bual sini, naik ke lantai atas. Bual lagi, naik lagi. Gak kerasa kami udah sampe di lante paling atas. Semua toko udah di jelajahi.

            “Yok kita turun aja ke lante tiga, di situ juga harganya yang paling murah” Pian memutuskan pilihannya yang cuma beda 15 ribu. Semua udah cembetut kecape’an. Pian rela menyatroni semua stan dari lantai paling bawah ke lantai paling atas, hanya untuk mendapatkan beda harga 15 ribu! Logika aja, mana mungkin ada stan yang  berani menjual dengan harga yang jauh dari harga stan yang lain didalam gedung yang semua isinya menjual barang yang sama. Aris keliatan pengen ngamuk. Seenaknya aja dia melibatkan betis kami jalan sana-sini cuma bela-belain 15 ribu. Aris bersiap-siap mengaum. Pian bersiap-siap ngembangin ketek buat ngantisipasi serangan auman Aris. Melihat suatu chance yang berbahaya bisa saja terjadi, Kedol nampak siap-siap masuk lift. Tapi tampaknya niat menggunakan senjata biologis pembunuh masal itu mereka urungkan.

            Kami turun masih dengan escalator. Kami berdiri berjejer. Masing-masing berdiri di anak tangga yang berbeda. Sampe di bawah Kedol njerit-njerit kesurupan.
            “Woiiii...woiiii...!!!!! Toloooonggg...!!!”
Kami ngelirik heran, bengong. Ternyata Kedol masih diatas. Ngapain juga kedol bertengger di ujung tangga atas.
            “Woiiii...woiiii...!!!!! Toloooonggg...!!! sendalku nyangkut ni” Kedol njerit lagi.
Masih bengong.
            “Woiiii...anjeeennnggg...!!!!! Toloooonggg...!!! sendalku nyangkut ni” Maki kedol yang mulai panik.
Aris masih bengong. Aku berenti bengong. Pian panik. Spontan Pian lari keburit, eh, kebirit naek tangga yang sama yang jelas-jelas berjalan menurun. Tanpa banyak mikir, di terobosnya kerumunan orang yang sedang asyik berdiri di escalator yang tengah berjalan nurun. Cuma aku yang berfikir jernih. Aku jalan ke escalator satunya, escalator yang berjalan naik. Karena Pian susah menerobos kerumunan orang yang menumpuk di tangga sekaligus melawan arus jalannya escalator, aku dan Pian, sampe keatas di waktu yang bersamaan. Kami liat sendal yang di pake Kedol masuk ke dalam celah-celah escalator. Pelan-pelan sendal itu mulai terkikis.

“Yan, ini kekmana jadinya?”
            “Tenang..tenang. Pasti ada jalan jeluar!” Pian coba tenangin kepanikan Kedol.
            “Anjing lah bi, cari solusi, jangan cuma ketawa aja!” Kedol merepet panik kayak kucing yang kebelet beranak.
            “hahahaha...!!” aku nimpalin dengan ketawa tambah cekikikan.
Mereka bedua masih berusaha narik-narik sendal dari sela-sela tangga ganti-gantian. Cuma aku yang nyemangatin lewat ketawa. Terakhir kuliat, mereka narik sebelah sendal berdua. Finaly, sendal pun terbelah dua. Sebagian masuk ke bawah escalator, sebagian lagi terlontar ke udara. Sedangkan mereka berdua mental tersungkur di lantai.

            “Mampus, macemana ni?” Kedol keringetan segede’ biji duren karena panik.
Pian bengong bentar, aku masih cekikikan.
“Gak ada jalan laen dol, mau gak mau satu-satunya jalan tu ke bawah beli sendal jepit.” Kata Pian.
“haaa...??!!! Masak aku jalan disini pake kaki ayam??? Yang betol aja?”
“yaudah, kalo gitu kau tunggu disini aja, aku transaksi hape dulu, abis tu aku berli sendal dibawah” jawab pian sok bijak.
“pe’ak..!! Itu bukan solusi!” timpal kedol setengah emosi.

Akhirnya kedol mutusin nempel muka tembok jalan dengan kaki ayam tanpa sendal di tengah keramaian didalam Mall. Anjrit...!!! Aku aja rada gimanaaaa.. gitu rasanya, apalagi dia! Sepanjang langkah, aku gak habis ketawa. Akhirnya, pahlawan Kedol hari ini adalah sendal jepang (sendal swallow) yang dijual di lantai bawah, teras Mall. Hari ini, kutukan bu Syarifah terbukti sudah!