Everyday like birthday. Setiap hari terasa bahagia. Dan, setelah aku
observasi, ada beberapa fakta yang dapat aku simpulkan dari jatuh cinta menurut
pengalaman pribadiku sendiri, diantaranya :
- Susah untuk ngelepas hape dari tangan
- Suka senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Lagi makan senyum, minum senyum, boker senyum, di tagih utang sama tukang kredit ember pun senyum (emanknye emak-emak..!!)
- Otot jempol jadi berotot (karena kebanyakan sms)
- Kuping jadi selebar kuping gajah (karena kebanyakan nelpon)
- Otak jadi suka mikir mesum sendiri (sampek nyipok-nyipok guling sendiri diatas kasur tengah-tengah malem)
Sedangkan untuk
dampak buruknya juga gak kalah parah. Biasanya syndrome pacaran ini dapat menyebabkan penyakit Kanker (kanker = kantong kering efek samping dari
pulsa, jajan, makan, jalan, dll). Tak hanya itu, parahnya lagi, syndrome yang mematikan ini menyebabkan
kanker di beberapa bagian tubuh. Kanker yang ditimbulkan antara lain:
- Thumbs Cancer : thumbs cancer atau dalam bahasa yang lebih manusiawinya dapat kita sebut “Kanker Jempol” disebabkan dari infeksi dari button (tombol hape) dan thumbs (jempol) yang selalu bergesek secara kontinyu dan berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama. Biasanya penyebabnya adalah kebanyakan sms
- Ears Cancer : dalam bahasa yang lebih kampungannya dapat kita sebut dengan “Kanker Kuping” adalah efek samping dari “Radiation of Telecomunication Signal”. Biasanya penyebab dari syndrome ini adalah kebanyakan, kelamaan, kehujanan, kehamilan, dan ketauan nelpon yang skala waktunya tidak wajar.
Mungkin
ini yang orang tua dulu bilang di mabuk asmara. Gak ngerti deh. Rasanya asyik
aja. Sejak aku dapet gebetan baru, hari-hari rasanya indah aja. Pagi masih
bobo’, siang makan+nonton gosip, sore pacaran, maghrib makan lagi, malam
pacaran lagi, tengah malam nge-bokep. Besoknya, pagi masih bobo’, siang
makan+nonton gosip, sore pacaran, maghrib makan lagi, malam pacaran lagi, tengah
malam ngebokep. Besoknya lagi, pagi masih bobo’, siang makan+nonton gosip, sore
pacaran, maghrib makan lagi, malam pacaran lagi, tengah malam ngebokep.
Terakhir aku ilangin ngebokep dari jadwal kegiatan sehari-hari.
Hampir setiap hari kita ketemu. Ada
aja alesan buat ketemuan. Dari suntuklah, kangenlah, temenin kesini lah, gak
sengaja lewat trus singgah lah, numpang boker lah, lagi pengen lah, dan
lain-lain. Apapun alesanya, yang jelas, kita happy. Maklum lah, penganten baru.
Maksudku, pasangan baru. Lagian, mau ngapain lagi. Hidup udah berubah. Sekolah
udah tamat, sebagian temen terdekat juga udah pada pergi. Satu-satunya hal yang
bisa ngobatin sepi cuma si do’i.
©J©
Dibalik semua kebahagiaanku saat
ini sebenarnya ada sebuah kesedihan tak alang kepalang yang secara pasti aku sadar tak lama lagi
akan menghampiriku. Ini adalah akhir
dari masa indah SMA. Dan hal indah itu tak lama lagi akan berakhir. Aku
dan semua kenangan, segelintir teman, akan berakhir di pertengahan tahun ini.
Lebih sialnya lagi, kenapa aku harus punya teman terdekat yang sebagian besar
bernotabene anak luar SUMUT. Perpisahan pun dalam waktu dekat tak akan bisa ku
hindari. Perpisahan yang nyata.
Hari-hari ku jadi tak banyak warna.
Hanya ada warna hitam kelam dan putih bersih. Detik-detik kebersamaan do’i
diwakili oleh warna putih yang sendu bahagia. Tapi setelah sesaat itu, aku
harus menerima kelamnya kehilangan sahabat. Kerbersamaan pun terasa jadi lebih
basi dari biasanya. Intensitasnya pun menjadi turun tajam. Pertemuan basi dengan
intensitas rendah. Sebelum Ijazah dipulangkan pada tiap siswa, Aris udah lebih
dulu pamit untuk pulang ke habitatnya di pangkuan orang tua di Kota Lhokseumawe
Aceh. Dua minggu setelahnya, Pian pun menyusul berangkat ke Pekan Baru Riau
dengan janji serupa dengan Aris, “Kami akan pulang lagi saat ambil Ijazah. Kita
akan pesta kawan!” Aku bukan anak-anak yang bisa langsung ketawa cekikikan
cengengesan setelah dengar kalimat yang hanya menegarkanku sekenanya. Dengan
kedua kamar kos mereka yang telah kosong, bagaimana aku bisa tenang dengan
kalimat yang jelek begitu. Bagaimanapun indahnya kau merangkai sajak kawan,
perpisahan ini akan tetap terjadi.
LLL
Sekitar dua bulan lamanya, pembagian
Ijazah akhirnya tiba. Mereka pulang. Kami kayang. Eh, party. Tapi hanya sekejap
saja. Aris yang tengah sibuk bergelut dengan kesibukan dia mengurus semua
kebutuhan dan persyaratan untuk menjadi seorang anggota Bintara POLRI, berupa
bawang merah kembar siam, bambu kuning ruas tunggal, ayam hitam, dan kulkas dua
pintu, akhirnya hanya mampir beberapa hari saja. Hari terakhir di Binjai, dia
nyempatkan diri singgah ke rumahku buat pamitan ama ortu ku. Aris yang matanya
ceper, pipi jatoh sampe ketanah, perut buncit sampai menutupi kemaluan,
punggung bungkuk bengkok dan absurd bagi semua manusia di jagat raya, serta
mulut bau pinggiran kuku jempol kaki, nyamperin emak yang lagi sibuk masak sartika (sambel teri kacang).
“Bu,
Aris pamit ya!” Aris pamit dengan muka blo’on yang khas bawaan lahir.
“Balik
hari ini Ris?” bales emak pura-pura kaget.
“Iya
bu, masih banyak urusan sibuk persiapan untuk tes, gak bisa di tinggal”
“Ha?
Aris tes masuk Polisi ya?” Emak nanya’ dengan nanar wajah yang tidak percaya
seperti mengatakan “TIDAK MUNGKIN...!!!!! APA JADINYA KALO KEPOLISIAN DI ISI
BADUT DONAL BEBEK...????”
“Iya
Bu. Tolong sampe’in salam Aris sama Om ya Bu! Oya, sekalian bu, do’anya!”
“Oh,
iya Ris. Sukses ya!” Jawab emak simpel yang raut wajahnya kini telah berubah
seperti mengisyaratkan baru selesai mengucapkan 1000 kali istighfar.
Aku
dan kawan-kawan nganterin si badut Donal Bebek ke terminal, sampek busnya
berangkat. Kami berpisah dengan suasana haru. Entah kapan lagi aku bisa maen
ama badut Donal bebek lagi. Ya, walaupun blo’on, dia begitu banyak berjasa
spiritual pada emak. Paling tidak, setiap dia datang kerumah, dapat dipastikan
emak ngucapin tahlil, tahmid, tahtim, dan istighfar masing-masing 1000 kali.
Seminggu
setelah kepergian Aris, kinilah tiba waktunya Pian yang mengikuti jejak Aris.
Dia juga akan pulang. Sama seperti Aris, sebelum berangkat, Pian juga tak lupa
pamit sama ortu ku. Sama-sama pamit, tapi kejadiannya sedikit berbeda. Kalo
Aris pamit pas nyokap lagi masak Sartika, tapi kali ini tidak. Pian
yang kulitnya kayak tumpukan daki setebal 5 cm (aku pernah ber-eksperimen nanam biji cabe rawit di daki kulit Pian.
AJAIB, TUMBUH..!!!), bulu idung yang offside
(maksudnya bulu idungnya kepanjangan sampek keluar-keluar), dan kete’ yang
baunya kayak koreng yang udah 10 tahun gak sembuh sampe’ di lalerin laler ijo,
nyamperin emak yang lagi masak Riste Tagor (Teri sambel pete, Tahu goreng).
“Bu,
Pian sore ini mau balik. Pian pamit ya! Maapin Pian ya Bu, kalo selama ini ada
salah ato sering ngerepotin!” Pian pamit dengan muka’ penjilatnya yang juga
bawaan dari lahir.
“Loh,
Pian mau balik juga?” tanya emak gak kaget.
“Iya
bu, pengennya si, lama’an disini. Tapi mama udah desak nyuru Pian pulang!”
“Ajaklah
si Bhibie jalan-jalan kesana! Dari pada dia disini kerjaannya maen aja!”
sambung emak ketus sambil ngelirik tajam ke arahku dengan rona wajah nyindir.
“Oooo,
ya boleh bu. Malah Pian seneng. Disana Pian juga gak ada kawan dirumah. Kalo
bibinya mau bu!” Pian ngomong sambil nengok ke arahku.
“Macemana
bi? Ada minat kesana?” emak balik nanya ke aku. Aku celinguk ke dua wajah,
wajah emak dan Pian sebentar karena kaget gak nyangka.
”ya,
kalo judulnya jalan-jalan, Bhibie mana mungkin nolak mak. Asal ada dana, Bhibi
sih OK selalu mak!”
“yaudah,
telpon ayah sana! Bilang minta duit buat ongkos maen ke tempat Pian di Pekan
Baru. Kalo ayah ngasi, berangkatlah.”
Aku bengong
selama 2-3 menit. Kenapa endingnya bisa kayak gini? Tapi ngapain juga
dipikirin? Namanya juga jalan-jalan, siapa si yang nolak?
Akhirnya sore itu juga aku berangkat
berdua dengan Pian. Kami berangkat dengan dianter Kedol dan Gepeng sampai di
terminal. Sebelum ke terminal, aku sempatkan buat pamit ama do’i dan mampir
kerumahnya sebentar. Do’i sempet kaget dan ngomel dikit pas dengar
keberangkatan aku yang serba mendadak. Tapi untung aja, setelah aku dan di
bantu oleh kedol menjelaskan kronologis keberangkatan aku yang mendadak,
akhirnya do’i mau ngerti. Aku jadi bisa berangkat dengan lebih tenang. Setelah
pamit, aku dan kedol langsung menuju ke terminal bus. Gepeng dan Pian udah
nungging, ehh nunggu disana. Semua udah beres. Tiket, koper, beras, obat panu,
dan es dawet komplit dengan gerobak dan abang-abang penjualnya udah rapi
tersusun didalam bagasi bus. Sebentar lagi aku dan Pian akan berangkat. Aku
pandang ke arah Gepeng dan Kedol, tampak wajah mereka yang pasi dan mellow. Ada
rona duka tergurat disana. Terlebih Gepeng. Matanya sampai terlihat
berkaca-kaca. Tadinya mereka yang juga sempat aku ajak. Tapi karena judul hari
ini adalah “Mendadak Dangdut” ehhh, “Mendadak Cabut” jadi mereka enggak bisa
ikut berangkat karena terkendala oleh dana dan sederetan alasan lainnya. Ya,
memang ini sangat spontan. Mereka tak punya persiapan apa-apa.
JJJ
Sekitar
sebulan lamanya aku berlibur di kediaman Pian. Banyak hal yang terjadi. Dari
yang indah, yang konyol, menderita, semuanya bercampur aduk menjadi satu
sampai-sampai aku melupakan sesuatu yang sangat penting buat masa depanku.
Kuliah. Kuliahku terlupakan oleh ku. Waktu itu aku lagi nginep di rumah tante
ku yang juga berada di Pekan Baru. Tante nanyain aku keheranan berat karena aku
setiap hari hanya menampilkan raut wajah yang innocent tanpa dosa.
“Bibi
gak ikut SPMB?”
“Ikut
tan!” aku jawab Innocent.
“Lulus
gak?”
“Kan
tesnya belom mulai tan!” aku jawab tak berdosa.
“hahahaha...!!”
tante cekikikan.
“Kenapa
tan? Kok ketawa?” aku nanya kebingungan sambil mikir dalam hati, “wah, kayaknya
tanteku kena penyakit bisul di otak ni! Sampe gila gini ketawa-ketawa sendiri!”
“Bibi
lucu lah, SPMB kan udah keluar pengumuman dari minggu lalu!”
“Hah???
Yang betol tan! Tante tau darimana?”
“Ya
tau lah bi! Tante kan ngeliput berita tentang SPMB! Jadi tante tau betul
perkembangannya.”
Mampusss...
Abis lah masa depanku. Obsesiku kuliah di Universitas Negri, terlebih USU
punahlah sudah. Aku bengong sebentar, kemudian aku langsung nelpon kakak
nanyain tentang penerimaan mahasiswa baru di UISU (Universitas Islam Sumatera
Utara) salah satu Universitas swasta di Medan. Kebetulan kakakku juga kuliah
disana tengah berjuang menyelesaikan Skripsinya. Jadi dia pasti tau informasi
lengkapnya.
“Halo
kak, pendaftaran penerimaan mahasiswa baru UISU kapan dimulai?”
“Besok
ujian gelombang ketiga, gelombang terakhir.” Dengan lugasnya kakak jawab. Habis
sudah. Aku akan menganggur selama setahun penuh. Kini harapanku cuma pada STAN
(Sekolah Tinggi Akutansi Negara) yang sebelumnya telah aku ikuti.
Malam
itu aku telpon do’i lepas kangen. Sedikit ngerepet manja, karena dia tak ada
mengingatkan ku tentang SPMB. Dia hanya membela diri mentel yang bikin aku
makin gemes dan lupa pada marahku. Dan malam itu dimakan waktu dengan
syahdunya. Angin malam seakan tidak membawa penyakit yang bisa merusak badan,
tetapi membawa cinta si pria calon pengangguran yang saat ini sedang jatuh
sangat dalam pada cinta. tak perduli dan tak tau pada angin hari-hari
selanjutnya yang perih.
Liburan
ini kuteruskan dari Pekan Baru menuju Bukit Tinggi. Kemudian melebar ke Padang.
Dan menuver memutar perjalanan pulang, singgah di Penyabungan. Semua titik yang
aku singgahi itu adalah kediaman family. Penyabungan adalah destinasi terakhir
yang aku rapati. Aku segera pulang karena akan ada pengumuman STAN yang harus
aku geluti. Ditengah-tengah itu, aku terlibat ribut kecil dengan si do’i. Entah
ada apa jauh disana, do’i kini tak se-onfire dulu perhatiannya. Aku hanya
kepede’an, “paling do’i kangen ama aku dan sekit merajuk manja karena aku
liburan terlalu lama.” Konflik kecil ini buat aku jadi pengen cepat-cepat
pulang. Selain pengumuman STAN, aku juga kangen berat ama do’i.
Aku
pulang tanpa ngabarin do’i. Niatnya sih pengen ngasi surprise! Tapi perjalanan
pulang tak semulus yang di harapkan. Diperjalanan, tepatnya di daerah Sipirok
SUMUT, ada sedikit longsor di jalan yang mendaki. Tanah liat yang tumpah dari
tebing menyebabkan jalanan sangat licin. Terlebih, ada sebuah bus di depan yang
mencoba menerobos, tapi pada akhirnya tak bisa bergerak di tengah tanjakan.
Akhirnya, antrian macet yang panjang pun gak bisa di hindari. Ditengah hutan,
tanpa signal, tanpa nasi bungkus, tanpa air mineral, tanpa WC umum, tanpa rokok, tanpa musik, tanpa novel, tanpa AC,
tanpa jalan-jalan sore, tanpa ganti kolor selama 11 jam. Malam sangat mencekam.
Siang sangat chaos. Ada bocah 2 tahun
yang sreaming meronta-ronta sepanjang siang. Ngeliat tetangga di sit sebelah
yang asyik makan mie instant gelas. Aromanya semerbak. Perutku mengeluarkan
nada di C = Do. Keetulan mereka melakukan perjalanan bersama keluarga dengan
bekal yang lengkap disertain termos air panas yang telah diisi ulang saat di
tempat pemberhentian terakhir.
Deretan
panjang mobil itu hanya dapat menunggu. Hanya mobil dengan mesin kuat seperti
mesin 4WD yang bisa lewat di sela-sela bus yang terjebak di tengah tanjakan.
Sisanya, menunggu. Satu-satunya hiburan, adalah ketika menonton mobil-mobil
bertenaga kuat itu bertarung melawan jalanan curam yang licin. Di butuhkan
keahlian dalam menyetir di medan seperti ini. Bila salah memilih jalan, mobil
bisa saja terjebak oleh liatnya tanah yang tak bisa dikalahkan ban. Yang tak
punya mobil yang mendukung, hanya bisa berdo’a agar semoga tidak turun hujan
lagi agar tanah menjadi kering, dan kami dapat bergerak.
11
jam berlalu, tanah mulai kering, akhirnya kami bisa lewat. Perjalanan di mulai
kembali. Tepat menjelang maghrib aku sampai di Medan, langsung menuju rumah.
Badan terlalu capek untuk bergerak. Akhirnya setelah menghentikan nyanyian
perut, mandi, ganti kancut, aku langsung tepar tak sadarkan diri. Ahhh..
Nyamannya! Besok saja jumpain do’i.
Esoknya,
hari tampak berbeda. Tapi terselip rasa senang tak alang kepalang di kepala.
Semangat 45 mengawali ku kerumah do’i untuk ngajak jalan. Satu galon parfume
aku tuang ke sela kete’ biar wangi. Aku pun jalan dengan penuh birahi dengan
pedenya.
Hampir
sampai, dari kejauhan, aku lihat ada sosok mobil mengkilap gagah parkir diam di
depan rumahnya. Aku pelankan motor. Sedikit mengintip, aku liat do’i duduk
santai di teras depan dibawah pohon jambu. Aku langsung masuk. Reaksi pertama,
aku berikan dia senyuman terindah. Reaksi kedua, senyum membasi. Reaksi ketiga,
wajah mengerut. Ada seorang cowo’ sedang ngobrol dengan do’i dengan mesra dan
terasa sangat intim. Suasananya kelihatan sangat hangat. Sedangkan dadaku
mendidih. Do’i tak mereson seperti yang kuduga. Seperti tak ada apa-apa.
“Eh
bhibie, pulang kok gak ngabarin? Kapan nyampe’? Kenalin nih, temen aku!”
Seperti biasa,
senyumnya selalu bisa mendinginkan aku. Tapi, hanya sebentar. Kami bertiga
ngobrol seperti layaknya manusia ngobrol. Tapi do’i tak bertindak seperti
layaknya sepasang kekasih yang udah lama gak ketemu. Dadaku kembali mendidih.
Aku kalah! Aku putuskan untuk pamit
lebih dahulu. Aku tarik kecil gas motor sederhana ini melintasi mobil mengkilap
yang gagah seakan sedang melirik sombong meremehkan aku yang sedang beranjak
pulang. Aku pulang dengan pandangan kosong. Semua fikiran beraduk melebur dan
bersatu. Aku tak pernah mempermasalahkan bila sebuah hubungan pada akhirnya
akan hancur. Bukankah memang seperti itulah hidup. Tapi aku tak pernah
membayangkan dengan cara keji seperti ini. Aku terlalu rapuh untuk menampung
kondisi yang mengaitkan keluarga. Otak busuk ini menarik wajah motor sedehana ini
dan melibatkkannya pada peperangan dengan mobil mengkilap. Lalu otak busuk ini
dengan tega juga menarik wajah ayah sederhana yang luar biasa dan secara keji
melibatkannya pada mobil mengkilap. Detik itu juga aku berikan titik didalam
hati pada hubungan ini!
Esoknya adalah hari pengumuman STAN.
Aku berangkat ke gedung keuangan Medan, berharap agar sekiranya namaku tertera
di selebaran yang di tempel tak rapi di papan pengumuman. Ratusan nyawa
berkerumun mengintip nama dengan penuh harapan. Orang-orang yang turun dari
gunung membawa ketiak basi membanjiri halaman kantor ini. Namaku tak tertera.
Aku resmi menganggur! Aku pulang dengan setan yang menduduki kepala. Sepanjang
perjalanan, amarah memelukku erat-erat.
Di rumah, aku langsung rebahan.
Me_reka-reka apakah yang akan ku lakuin selama nganggur. Terlalu sampah rasanya
jadi pengangguran kalo gak ada guna. Tak butuh waktu lama, mataku mulai
mengkerut. Aku hampir tertidur sebelum akhirnya tersentak gara-gara hape ku
menjerit. Aku baca, ternyata do’i nelpon. Sebelum aku angkat telpon itu, aku
menerka-nerka, pembicaraan apa yang akan terjadi?
Do’i nanya tentang hasil pengumuman
STAN. Ternyata dia masih inget. Obrolan basa-basi akhirnya terjalin dengan
hangat. Sebelum pada akhirnya aku mulai merusak suasana ini dengan bertanya
tentang orang dengan mobil mengkilap kemarin. Jawaban yang sudah kuduga tapi
tak kuharap benar-benar muncul. Titik itu kini benar-benar tegas.