Senin, 25 Juli 2011

Belajar Dewasa Lewat Sastra

Khairil Habhibie Dwi Putra, itu aku, punya watak yang lugas, ceria, bocor halus, to the point, blak-blakan, dan agak tak santun. Mungkin udah kalian lebih dulu bisa nilai watakku kalau aku itu sakit setengah jiwa dari sejumlah tulisanku, dan sejarah-sejarah hidup yang bisa aku pasti’in gak penting-penting amat bagi kalian. Aku udah nyadar. Dari situlah kadang-kadang yang membuat aku berfikir untuk seenggaknya nyoba’ buat belajar lebih dewasa. “Aku harus dewasa!” Karena aku gak paham cara mendewasakan diri lewat jualan es dawet, dan karena entah kenapa aku selalu suka’ ama seni, termasuk sastra, maka aku mutusin mulai belajar dewasa lewat sastra. Ya walaupun aku sama sekali gak paham sastra. Jadi, mohon. Aku mohon kawan. Jangan ledek aku untuk melakukan hal yang baik dalam hidupku. Aku mohon dukung aku sekeras mungkin. Sekeras taik mu saat kalian tak berhasil buang hajat selama tiga minggu. Karena aku ingin belajar menulis yang lebih dewasa lewat sebuah cerita.

            Dan, dewasa itu akan aku coba lewat kisah yang nyata ini.
@@@

            Aku tengah menatap teguh dan lurus sejurus kearah wajah Kedol. Sangat lurus. Selurus garis . Manusia menyenangkan itu adalah tipe orang yang ceria. Sangat jarang kudapati di bias wajahnya tergurat curahan yang menggambarkan keadaan hatinya yang sedang galau. Tapi aku yakin seperti aku yakin dengan adanya Tuhan, bahwa setiap manusia termasuk Kedol pasti pernah jua merasakan sedih didalam daging merah yang terletak di dada manusia yang sering kita sebut hati. Walaupun selalu luput oleh pandanganku, tapi aku mengimani hal itu. Bukankah manusia di ciptakan Allah sedemikian rupa dengan bermacam-macam racikan perasaan termasuk “sedih”..?? Itu lah salah satu alasan kuat Allah mengangkat manusia sebagai makhluk paling mulia saat Malaikat protes kepada –Nya.

            Dan kini aku terdampar di tepi jalanan raya ini. Jalanan yang biasanya selalu bisa merekahkan senyum bahagia dari bibir kelamku. Bagiku jalanan ini seperti panggung konser yang selalu bisa membuat anak band tersenyum bahagia. Seperti podium yang selalu menggembirakan saat seorang Pegawai honor pemerintahan yang telah berjamur, berkapang, hingga termakan usianya dan tak tentu arah nasib ekonominya  dilantik menjadi PNS rendahan yang telah gaek. Sebuah pengangkatan hadiah karena pengabdian bertahun-tahun si PNS gaek. Jalan raya ini sejurus dengan arah Kedol bermukim. Tiap kali aku melintasi jalanan ini untuk sekedar melarikan suntuk, aku selalu mengimani, akan banyak tawa yang kudapati saat aku sampai di rumah Kedol nanti. Tapi kali ini jalan ini agaknya tak bersahabat. Bibirku yang biasanya kelam saat melintasi jalan raya ini, kini kelu dan pucat hampir tak berwarna. Jalanan ini, kini, bukanlah mengantarakan aku ke arah kekediaman Kedol, melainkan ia bersama nasib telah bersekongkol untuk menjauhkan aku pada kebahagiaan yang berfoya-foya telah aku lakukan selama setahun belakangan kepada tanggung jawabku terhadap masa depan yang tak pernah aku bayangkan akan terasa sesakit ini.

            Bertahun-tahun telah aku teliti, tapi baru kali ini aku lihat raut wajah Kedol tak teguh. Wajahnya layu bersama Bus yang seakan mengisyaratkan bahwa sang adikuasa raja waktu yang tegas dan tak kenal sogokan, sebentar lagi akan meraup temanmu (aku) dari cengkramanmu. Seperti rasa asin yang lugas, cerewet, tajam, nyinyir. Seperti itulah sikap yang biasanya di tunjukkan Kedol ke hadapanku. Tapi untuk malam ini, perangainya bagaikan rasa manis yang dicampur dengan rasa asam dengan kadar asam yang lebih tinggi. Kalem, rapuh, doyong, seperti seorang putri pesakitan, dia tampak cedera di ulu hati. Suatu pemandangan yang sangat jarang terlihat.

            Sebentar aku pindah chanel view kearah wajah Ayu. Ayu yang biasanya seperti rasa manis yang teduh, penyayang, bersahabat, lembut, syahdu, rapuh, dan rentan. Tapi kini iya tetap seperti itu. Hanya saja terlihat lebih tegar daripada Kedol. Rupanya Kedol dibalik wajahnya yang teguh seperti kebanyakan orang Batak lainnya, punya sisi yang jauh lebih melow di banding seorang wanita. Sedangkan Rhena masih tawar. Cuek, apa adanya, periang, dan menganggap perpisahan ini bukanlah hal yang patut untuk di sedihkan berlarut-larut. Sekilas aku lirik kearah Bagong, dia juga tetap seperti itu. Pedas. Pemarah, tegar, tegas, tajam, tegap, kukuh, kejam, dan tak sensitif. Untuk Gepeng, aku tak bisa menggambarkan wajahnya. Satu hal yang aku tau dengan pasti dan tak terbantahkan. Bentuk struktur tengkoraknya tetap seperti itu. Gepeng.

            Dari sahabat, kini aku layangkan pandangan ke arah keluargaku. Dari keseluruhannya, ayahlah yang paling terlihat nyata kesedihannya mengalahkan mamak, dan kakakku. Ayah ku sebenarnya adalah orang yang keras dan tegas. Dia lahir dan di besarkan dari lingkungan hidupnya yang keras. Fikiranku jadi kembali pada masa lalu saat aku kecil. Saat itu aku tengah berada di dalam mobil yang santai melintas di jalanan kota Medan bersama ayah. Sungguh suatu ketiba-tibaan yang tak terbayangkan,
“BRUUKKK..!!”
Mobil kami menabrak pantat sebuah mobil angkot yang berhenti mendadak. Angkot itu baru saja memotong mobil kami seenaknya, dan kemudian secara tak bermoral sekenanya menepi tepat di depan mobil kami dengan menge-rem angkotnya sekuatnya persis di dalam sebuah film action saat polisi menghenti paksa seorang buron yang melarikan diri dengan mobilnya. Walau aku masih sangat bocah, tapi aku telah bisa berfikir dan paham benar gelagat supir angkot tesebut. Dia melakukan manufer yang membahayakan nyawa aku, ayah, penumpangnya, bahkan nyawanya sendiri hanya demi menurunkan penumpang yang meminta untuk menepi.

            Si sopir keluar dari angkotnya dengan menyertai emosi yang tak terbendung. Aku ketakutan. Seakan darah ku yang tadinya normal di pompa jantung menuju otak, kini semua darah yang berada di otak, jatuh dengan deras dengan kecepatan yang amat tinggi ke mata kaki berkubik-kubik lalu mengkristal dan memeberat bagaikan piksel-piksel yang tersusun rapih seperti matriks. Dia turun dan membanting pintu angkotnya yang reot, sambil memaki sumpah serapah yang komplit dengan faseh. Dari dialeknya bicara_lebih tepatnya memaki_aku dapat memastikan bahwa dia adalah manusia bersuku batak yang wataknya keras. Jelas terlihat bahwa umurnya jauh terpaut dibawah usia ayah yang sudah mulai renta. Ayah hanya duduk diam tak bergerak di dalam mobil membiarkan dengan sengaja  supir angkot batak itu memaki-makinya. Aku sebenarnya sangat tak ikhlas ayahku di perlakukan seperti binatang. Tapi saat itu aku sangat ketakutan. Aku hanya seorang bocah yang belum mengecam pendidikan apapun. Masih sangat rentan. Bahkan belum pantas mendengar kata-kata kotor yang keluar dari mulut kotornya itu. Apalah yang bisa dilakukan seorang bocah yang belum pandai membaca walau satu huruf latin maupun kanji?

            Ayah tetap diam tak berkata. Abang-abang batak supir angkot semakin menjadi-jadi memaki ayah. Sekarang disertai dengan memukul-mukul mobil kami. Orang-orang terpana bagaikan menonton sebuah pertunjukan komedi. Inilah moral manusia. Agaknya ayah terlihat sudah mulai tesinggung. Dengan lugas, ayah membuka pintu mobil dan segera merangsek keluar. Darahku semakin mengalir dengan sangat cepat. Jantungku beretak tak lagi normal.
“PAAKK...PUUKKK...BUUUMM...POOOWW..”
Tak dapat disangka ayah langsung memukul abang-abang batak supir angkot tanpa ampun. Bertubi-tubi tanpa memberikan celah sedikit pun. Si sopir angkot,  kakinya jadi tak tegar sampai tersungkur, terkulai, dan tak bergerak di atas aspal yang panas di bakar matahari yang panasnya nyaris mencapai titik didih air. Abang-abang batak supir angkot KO detik itu juga. Diatas panasnya aspal, dia bergelinjang menahat perih dan malu. Masih terekam jelas di dalam otak ini walau sudah bertahun-tahun berlalu kata-kata yang keluar dari mulut Ayah.
“AKU JAUH LEBIH TUA DARI KAU. JANGAN KAU BUAT AKU SEPERTI ANAK-ANAK!”

            Aku tesenyum. Darah dan jangtungku kini telah kembali bekerja normal sebagaimana mestinya. Darah yang tadinya mengkristal, kini telah menguap kembali. Ayahku hebat. Hebat seperti Ksatria Bajahitam yang ku tonton setiap sore di televisi. Kata-kata Ayah tadi akan ku ingat sampai kapanpun. Dewasa ini kiranya aku menangkap satu buah manis pesan moral yang terselip tegas dari kata-kata Ayah. Bahwa yang muda hendaknya dan wajib menghormati yang lebih tua.

            Atau pada saat aku SMA, Ayah ku yang telah berusia setengah abad, rela bergumul dengan laki-laki tukang minyak ecer kurang ajar yang juga merupakan tetanggaku dalam sebuah perkelahian hanya karna tak sudi anaknya (adikku) dimaki olehnya tanpa dosa apa-apa. Mungkin karna Ayah lahir dari lingkungan yang keras, memaksa dia untuk terdidik menjadi lelaki yang mahir berkelahi. Saat itu, Ayahku menyodorkan beberapa bogem mentah kombinasi jap, huk, stright, dan uppercut secara teratur dan tak terduga ke arah wajahnya dan memaksa dia tersudut. Aku melihat dengan jelas semburat merah darah berhamburan dari mulutnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Ayah menang dengan nilai mutlak. Padahal umur mereka terpaut sekitar 13 tahun. Dia beruntung tak KO saat itu. Karena orang-orang (termasuk aku) telah berhambur melerai. Sungguh besar rasa sayangnya kepada buah hatinya.

            Tapi kini, orang tua itu tampak jauh tak seperkasa dulu. Beliau tampak jauh lebih down dari mamak yang seorang wanita. Nafasnya tercekat saat aku menaiki bus. Air matanya tergenang tapi tak di biarkan jatuh. Aku tak sanggup meninggalkan orang hebat itu. Aku berhenti sejenak saat di menaiki tangga bus. Sesaat aku menoleh sebentar kearah mereka. Ayah mengangguk-angguk tertatih dengan mata yang memberat penuh air, seakan mengisyaratkan,

“Pergilah nak! Pergilah! Rangkailah masa depanmu seindah mungkin. Aku, orang yang renta ini tak akan pernah luput walau se-helaan nafas untuk mendo’akanmu!”

Aku pun menguatkan diri. Aku kembali menaiki tangga bus dengan merangkaikan sebuah kaliamat di dalam hati. Sebuah kalimat yang paling bijak dan dewasa mungkin selama hidupku yang kosong ini.

“Yah, Mak, dengan do’a kalian yang tiada jeda, dan atas izin Allah, suatu saat aku akan pulang membawa segenggam kebahagiaan untuk kalian, seperti kebahagiaan seluas serambi syurga yang telah kalian limpahkan kepadaku dengan sangat ikhlas dan tiada terhitung jumlahnya walau dengan rumus, persamaan yang paling canggih sekalipun!”

            Bus mulai berjalan lurus dan mulus melewati rumah Kedol tepat ke arah Provinsi Aceh. Universitas Syiah Kuala lah tepatnya tujuanku. Dari sinilah awal aku merangkai masa depan. Masa depan yang InsyaAllah sangat aku harapkan mudah-mudahan akan indah. Amin.

Banda Aceh, 20 Juli 2007, 18 : 45 wib

Minggu, 17 Juli 2011

Monolog Sunyi

Mak, aku lapar!
Kenapa kita gak bisa makan di Restauran mewah?

Mak, aku ngantuk!
Kenapa kita gak bisa tidur di kamar hotel berbintang?

Mak, aku capek!
Kenapa kita gak bisa punya mobil mewah?

Tapi tak apalah Mak,
Bukankah hanya dengan makanan buatan tangan hangatmu hingga aku bisa tumbuh besar sampai sekarang ini?

Tapi tak apalah Mak,
Bukankah hanya dengan pahamu yang empuk itulah kau timang  dan kau dekap aku yang membuatku merasa  sangat aman dan pulas ketika ku masih kecil?

Tapi tak apalah Mak,
Bukankah dengan kakimu yang hebat itulah dulu kau gendong aku menuju sekolah pertama ku?

Mak, bangun Mak...!!!!
Mak, bangun Mak...!!!!
Kenapa Mamak tak menjawab...???
Mak, bangun Mak...!!!
Sudah seminggu Mamak tak bangun di dalam sana dan tak menjawab aku...!!!

Sambungan dari “The Honest Word’s To Mom”
Khairil  Habhibie  D.P

Rabu, 06 Juli 2011

The Honest Word's To Mom

Mak, bukankah aku tidak pernah meminta agar kau berikan uang saku sejumlah emas yang kau simpan dengan baik di lemari mu?
Karna mungkin emas itu pun akan kau gadai untuk kebutuhan hidup.
Dan dengan hati mu yang anggun itu kau memeberi tahu kepada ku bagaimana cara agar aku mendapatkan sejumlah rezeky yang halal nantinya mungkin pun tak kau tagih.

Mak, bukankah aku tidak pernah meminta agar kau belikan sebuah mobil?
Karena memang hanya dengan kedua kakimu yang hebat itulah dulu kau gendong aku menuju sekolah pertama ku.
Dan dengan hatimu yang mulia itu kau membisikkan ku bagaimana bahagianya aku, saat kelak nanti aku dapat membawa sebuah mobil kerumahku untuk mengajak anak istriku berjalan-jalan. Dan kau pun tak mempermasalahkan kelak aku mengajakmu atau tidak.

Mak, bukankah aku tidak pernah meminta agar kita pergi ke tanah suci bersama dengan memakai uangmu?
Kana memang selama ini kau masih berdo’a kepada Tuhan kita, agar kelak AKU DAPAT MEMBAWA MU BESERTA AYAH untuk bersama berjalan mengelilingi Ka’bah, kau bukan mendo’akan atas dirimu sendiri, melainkan kau mendo’akan agar aku yang mendapatkan kesempatan untuk dapat membawa mu.
Thanks MOM,
You’ve given me to much.
I swear, i love you MOM

Dari     : Khairul Tamimi (Adik kandung ku tersayang)

Senin, 27 Juni 2011

Would You Be My Girl..??


Hari ini adalah hari yang jauh-jauh hari telah aku impikan tapi tanpa draft susunan rencana. Aku bertekad untuk nembak dia hari ini. Dengan gugup, penasaran, cinta yang bergelora, mulut yang bau selangkangan kebo’, dan sekilo kotoran yang nempel di mata aku bangun dari tempat peristirahatanku dan ku mulai hari ini.
~~J~~

Saat itu kami sedang ngumpul di rumah Yanti. Selepas dari masa UN (Ujian Nasional), suasana-suasana seperti ini jadi terasa sedikit berbeda. Terasa lebih hikmad. Mungkin penyebabnya adalah kerinduan akan masa-masa indah di sekolah sudah jarang dan sulit di dapat. Mungkin hampir sama langkanya seperti BBM saat ini. Hal yang sebenarnya tak lucu pun jadi terasa sangat nagakak. Contoh saat kedol kentut pas Yanti bawa’in minuman, semua pada ngakak yang gak wajar. Aku sendiri sangat bingung dengan mereka. Kenapa bisa tertawa selepas itu? Belum pernah aku ngeliat orang yang bisa sebahagia itu saat di kentutin. Seakan ada keriduan yang besar pada sebuah kentut murni yang berasal dari seputaran lingkaran lobang berbulu di bokong Kedol. Apa ini tanda-tanda akhir zaman?

Sekitar 7-10 menit tawa gara-gara kentut super Kedol itu baru berakhir. Tapi baunya baru hilang setelah SBY pensiun. Sebuah respon yang berlebihan tentunya. Hanya karena kentut, mereka cekikikan berdurasi 10 menit. Padahal kentut Kedol masih dalam kategori standart. Aku pun bisa kentut yang jauh lebih dahsyat dari itu. Dengan 7 aroma terapi lagi. Kalo aja kejadian itu diabadikan trus di upload ke youtube, aku yakin bisa ngalahin pamor Briptu Norman. Dunia sebentar lagi akan kiamat! Kentut akan jadi sesuatu yang berharga. Kalo biasanya bapak-bapak yang baru keluar dari Mall sehabis belanja ama anak bininye di samperin pengemis minta-minta,
`Huh, dasar pengemis! Dut, pret..!! si pengemis di kentutin dengan tragis.
Tapi sekarang, kejadiannya jadi beda. Kira-kira gini, bapak dan anak bini’nye keluar dari Mall, trus dateng pengemis minta-minta,
`Kasian pak! Kentutnya pak! Udah dua hari kagak di kentutin pak!
Trus si bapak yang baru keluar belanja dari Mall ama istri dan anak-anaknya ngentutin tu bapak pengemis tepat pada wajah usangnya dengan profesional dan sangat manusiawi satu persatu secara bergantian. Tampak keikhlasan yang sangat mendalam di raut wajah si bapak dan anak istrinya. Sesaat setelah si bapak pengemis di kentutin, dia tersenyum merasa sangat bahagia seperti melayang-layang di surga. Mudah-mudahan kejadian itu tidak akan pernah beneran terjadi. Amin!

            Setengah jam lamanya setelah tragedi kentut itu berlangsung, aku dapet sms dari Do’i :
`Bi, jemput yach! Udah ready nich!
Hampir aja sesuatu yang jadi target utama hari ini terlupakan olehku. Untung aja saat kejadian itu, perempuan idaman ku belum ku sampek berada di tempat. Aku tak rela bila Ia merasakan sensasi kentut kedol. Akhirnya dengan hati yang berbinar-binar, aku sangat bersemangat untuk menjemputnya.

            Sekitar 3 kilometer panjangnya jalanan aku susuri untuk sampai kerumahnya. Tapi di sepanjang jalan aku belum bisa berhenti melupakan sensasi kentut Kedol. Tak butuh waktu yang lama untuk sampai ke rumahnya. Di balik celah pintu yang tak terbuka sepenuhnya, samar tapi pasti dapat ku lihat dia muncul. Ia keluar dengan baju kaos santai (artinya bajunya gak ribet kayak misalnya bajunya berlampu dan ada wii fi-nya) berwarna putih dengan celana pendek berwarna cream. Dengan rambut lebat berwarna hitamnya yang di ikat ekor serigala, dia jadi terlihat sangat cantik dan dengan pasti mengisyaratkan siap berangkat. Dia awali melangkah keluar dari pintu rumah dengan senyum manis khas nya dan menatap mantap tepat ke arah ku tapi tak meninggalkan sipu malu sebagaimana seharusnya perempuan. Senyuman yang selalu bisa membuat aku tergagap di depan dia. Senyuman yang selalu bisa buat aku menarik napas yang panjang untuk bisa mendekati dia. Sedikit demi sedikit dia semakin mendekat. Aroma harum dengan cepat menyusup ke dalam hidung. Aku mengenal pasti baunya, ini bukan sensasi kentut Kedol! Aromanya sangat enak, berbeda jauh dengan sebuah kentut. Ini adalah aroma tubuhnya. Aroma parfume bercampur aroma tubuhnya (artinya parfume+ketek do’i) yang khas dan tak pernah berubah. Sesaat rasanya waktu seakan berhenti. Pohon jambu air yang tumbuh subur di halaman rumahnya tepat di belakangku seakan berubah jadi pohon sakura. Daunnya, bukan batangnya, berguguran dan jatuh berlambaian perlahan disekitarku secara perlahan. Seperti biasa, aku selalu lemas ketika telah berhadapan dengannya. Aku jadi merasa semakin jauh jatuh dalam cinta. Cinta.

`Ayo’ bi, berangkat!, do’i mengawali sapa.
Aku tersentak dan berhenti mengaguminya sesaat. Aku pamitan dengan orang tuanya. Kami pun berangkat dengan bahagia. Dengan perasaan yang sejuk di dalam sukma. Aku berharap hari ini poros putaran bumi akan sedikit macet, agar hari berlalu sedikit lamban dari biasanya. Agar aku bisa merasakan bahagia ini sedikit lebih lama.

Aku mengendarai motor sederhana ini dengan kecepatan yang tak bisa di hitung dengan speedometer, tapi hanya dengan jari. Ya, aku berjalan dengan lambat seperti adegan slowmotion pada adengan film. Atau tayangan replay saat seorang pemain mencetak sebuah gol pada pertandingan sepak bola. Saking kelamaan jalan, pas aku sampek di rumah Yanti aku liat mereka udah terbungkus kain kafan. Dan adik si Yanti paling bontot yang tadinya belum punya bulu ketek, sekarang malah keteknya udah beruban.

`Lama kali klen balik? Jemput kerumah ato ke Aljazair?’ Yanti comment.
`Aku ini pria bertanggung jawab. Aku jalan dengan penuh hati-hati donk, biar pergi utuh, pulang pun utuh! Anak gadis orang ni say..!’ aku membela diri sekalian cari muka didepan do’i.
Do’i cuma senyum-senyum aja kearah ku. Aku pun membalas dengan senyum yang gak kalah manisnya. Oh God, i realy fallin’ in Love...!!!!

            Ketawa di lanjutin mengiringi berjalannya waktu. Do’a ku tak terkabul hari ini. Waktu tak berjalan lambat. Dunia malah terasa berputar lebih cepat dari biasanya. Tak terasa jadwal jaga mentari telah habis, dan hampir berganti shift dengan rembulan. Semuanya bergegas pulang. Kedol bergegas kentut. Do’i bersiap untuk ku anter pulang. Setelah berpamitan dengan orang tua Yanti, kami pun berpencar. Ayu, Chintya, dan Deby langsung pulang kearah rumah. Pian, Aris, kedol, gepenk, dan Abib pergi ke jalan yang lurus. Yanti, bokap, nyokap, dan adiknya gak pergi kemana-mana (yaeyalah, rumahnya di sono). Aku sendiri akan menempuh 3 km lagi untuk nganter do’i pulang.

            Aku menelusuri jalan yang sama dengan jalan saat menjemputnya tadi siang. Karena hujan sedikit gerimis, do’i jadi lebih memilih lebih banyak diam dan tidak secerewet biasanya. Dia hanya berlindung dari hujan di balik tubuhku yang tipis ini. Sedangkan aku sedang mengalami dilema dalam fikiran. Yang berputar-putar di otak kecil ini. Nembak. Tapi terasa sangat berat. Takut. Bukan takut di tolak, itu mah udah biasa. Takut aja nanti pas nembak, waktu aku bilang,
            “Emmhh, sebenernya.. anu.. aku suka’ lo sama kamu”, aku nembak.
Do’i shock sejenak karena kaget lalu melajutkan ketawa’ “hahahahaha... Bibi, lucu de. Aku ucapin banyak terima kasih karena udah ngasi perhatian lebih ama aku. Tapi bi, masalahnya aku ini bukan reptil betina!”.
Tragis kan? Masak aku di anggep seekor kadal jantan! Hal itu yang bikin aku bingung dan berat buat nembak.

            Aku nge-gas motor sangat lamban. Lebih lamban daripada saat berangkat tadi. Hal itu sengaja aku lakukan untuk mempersiapkan diri, menguatkan hati untuk mengucapkan kata-kata gombal yang tepat dan romantis. Jangan sampai di hari yang sakral ini gagal karena sifat lugas dan to the point ku sendiri gara-gara mengucapkan hal-hal yang gak penting. Kayak misalnya,
“Hey, kamu cantik. Aku sukak. Kita pacaran yuk!” aku nembak dengan pasang gaya Elfis Prasley.
Do’i jawab dengan gaya Lara Croft, “Ehh kuning telor, kow pikir kow tu sapa?”
“Bhibie..!!” aku jawab enteng.
“Gak da otak kow y!” hiiiyaaa.. PUUMM.. BRURK.. POOWW.. GUBRAKK...!!! Aku di pukul ampek pingsan. Trus di sekap, dan di siksa di sebuah ruangan yang tak berpenghuni di tengah hutan. Biar lebih menyiksa, do’i nikamin bagian perutku pakek sendok. Awalnya aku cuma ketawa-tawa aja kegelian. Tapi lama-kelamaan, perut jadi memerah, berbirat, luka, berdarah, bolong, sampek usus keluar. Serem kan?

            Akhirnya tekadku bulat. Dengan segala kemampuanku aku pun nembak do’i.
            “hmmmhh... Aku mau ngomong sesuatu!” aku mulai dengan ragu.
            “Yaa, apa..??” do’i ngelanjutin.
            “mmmhh... anu.. itu.. apa..” Gila’, aku nevous berat!
Do’i tampaknya telah menyadari suatu hari hal ini akan terjadi. Dia tampak telah sangat siap dan mengerti harus melakukan apa saat itu. Dengan memegang lembut pundakku, dan mengubah posisi duduknya dengan sedikit menarik sedikit kedepan lebih merapatkan diri ke tubuhku, tak lupa dia merapatkan kepalanya yang tadinya berlindung di belakang punggungku kini bertengger diatas pundakku membiarkan wajahnya di terpa gerimisnya hujan. Sesekali pipi kita bersentuhan karena di guncang motor yang bergoyang. Dengan enteng dia meringankan aku dengan ucapannya,
“Udah ngomomg aja. Gak papa kok!”
 Oh God, apakah ini indikasi bahwa dia juga suka’ sama aku? Aku jadi lebih PeDe.
            “Sebenernya aku suka’ sama kamu!” Aku shock sebentar.
            “Mmm..???? Apa..???” Do’i minta aku ngulangin kalimat tadi dengan sedikit terkejut.
Mampussshh, aku tambah shock. Aku cuma diem. Sunyi.
            “aku pengen kita jalan lebih dari kaya sekarang.” aku coba mulai lagi.
Sunyi lagi.

Aku liat rumah nya sudah tak jauh lagi. Gangnya sudah terlihat. Tinggal masuk gang, sekitar 500 meter kedalam gang, maka kami akan sampai ke rumahya. Jadi aku mendesak do’i agar dia segera memberi kejelasan. Tapi dia masih diam. Aku udah tertunduk pasrah. Saat mengangkat kepala, kami telah sampe’ kerumahnya. Dia turun dari motor sambil bilang, “Makasi ya Bi!” Itu saja. Aku bengong. Aku gagal. Aku tertunduk. Dia berlalu begitu saja tanpa memberi jawaban. Sekarang dia telah memunggungiku dan berjalan masuk kerumah. Aku telah habis. Ku putar arah motor hendak pulang dengan kekecewaan dengan tetap melihat harapan kearahnya. Sekitar lima langkah do’i telah berjalan, tiba-tiba aku liat dia berhenti begitu saja. Aku berhenti. Perlahan dia membalikkan badannya kearahku.
“Bi, masalah yang tadi, nanti aku kabarin jawabannya ya!” do’i berkata singkat.
Dia melemparkan senyum itu lagi kearahku sebelum kembali berjalan dan meninggalkan aku masuk kedalam rumahnya. Aku pun membalas dengan senyum terindah yang aku punya. Yup, dia berhasil menjebak aku. dia berhasil membuat aku penasaran.

~~©J©~~

            Perempuan memang makhluk paling buas sedunia. Kok bisa-bisanya aku suka ama makhluk yang paling buas di dunia. Dengan sebuah kata saja sudah cukup membuat aku seperti orang yang OD karena drugs. Aku guling-guling di kamar nungguin kabar dari do’i. Saking sakaunya, aku merayap-rayap di kolong kasur ala militer biar gak gugup dan nurunin rasa penaaran. Denger ada ribut di lante atas (tepatnya di kamarku), emak dateng kekamar sambil nge-rap. Sekerdar informasi, Emakku itu jago nge-rap loh. Lebih tepatnya, jago nge-rap+et. Lebih spesifiknya lagi Emak ku jago NGEREPET.
Trrrrr...grrrrrr....ngiiiiiinnnggggg....cluttt..cluttt...wuuussshhhh....
Aku di repetin secara bertubi-tubi, aku sih cuma diem aja. Kalo aku ngomong sedikit aja, bisa tambah parah. Soalnya Emak itu paling ahli dalam hal nge-rap. Sekali Emak nge-rap satu provinsi bisa denger. Ini gak bisa di biarin, kalo di biarin lebih lama bisa-bisa bapak gubernur yang terhormat bisa datengin rumah ku memprotes Emak yang telah mengganggu kenyamanan dan ketentraman masyarakat Provinsi Sumatera Utara. Yaudah, demi kenyamanan bersama, aku pun ninggalin emak dengan alasan mau mandi. Finally, aku mandi, Emak berenti merepet, bapak gubernur SUMUT yang terhormat enggak jadi datengin rumahku.

            Selesai mandi, hal yang pertama aku kejar adalah hape. Aku lari-larian dari kamar mandi, langsung ngambil hape. Aku lirik hape, “1 massage. Wah, apa itu dari do’i?” Aku buka pelan-pelan.  Ternyata emank do’i. Mampuss, aku jadi tambah demam panggung bertanya-tanya kira-kira jawaban “YA” atau jawaban “TIDAK” yang aku terima? Aku narik napas panjang, sekitar 30 menit. Setelah itu aku meninggal kekurangan oksigen. Alaaahh, masak ending nya jelek amat. Oke, kita ralat. Aku narik nafas panjang, aku buang pelan-pelan melalui dubur. Hemmmhh.. Kedengerannya masih blo’on ya! Kita ralat sedikit lagi. Aku narik nafas panjang, ku buang pelan-pelan, dan mulai ku baca.

            Bi, aku juga sayang ama bibi.
                Aku rasa, kalimat itu udah cukup untuk mewakilkan jawaban aku.
                Oya, besok temenin aku nyari barang ya!
                Sekalian first datenya kita!
                Besok jemput aku jam 4 sore yach!
                I love You..©

Yuuuhhhhhhuuuuuuuuuuu...........!!!!!!!
Yeaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh........!!!!!!!